Seminar Sehari Penyakit Imunosupresi

Kontrol Penyakit Imunosupresi dengan Program Vaksinasi yang Tepat

Jumat, 8 November 2013 bertempat di Grand Zuri Hotel BSD, PT. Ceva Animal Health Indonesia menggelar seminar sehari dengan mengangkat tema yang sedang marak diperbincangkan dalam komunitas perunggasan Indonesia yaitu mengenai penyakit imunosupresi.

 

Sebagai salah satu perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia, PT. Ceva Animal Health Indonesia saat ini menjadi leader dalam produk vaksin imunkompleks yaitu Cevac Transmune® untuk penyakit Gumboro (IBD) yang telah digunakan di DOC yang berasal dari lebih dari 50 hatchery di seluruh Indonesia. Selain itu, PT. Ceva Animal Health dengan produk Circomune® juga telah menjadi leader dari vaksin untuk penyakit Chicken Infectious Anemia (CIA) yang merupakan salah satu penyakit imunosupresi yang disebabkan oleh Chicken Anemia Virus (CAV). Demikian disampaikan oleh drh. Edy Purwoko, Country Manager PT. Ceva Animal Health Indonesia dalam sambutannya. Selanjutnya, Edy juga memperkenalkan website PT. Ceva Animal Health Indonesia (www.ceva.co.id) yang telah diperkenalkan sejak tahun 2011. Melalui website ini diharapkan pelanggan bisa dengan mudah mengakses informasi terutama terkait produk-produk Ceva Animal Health.

Seminar yang dihadiri oleh peternak baik breeder maupun layer ini menghadirkan Dr. Guillermo Zavala dari Poultry Diagnostic and Research Center University of Georgia serta Dr. Roberto Soares yang merupakan Regional Technical Manager Ceva Animal Health.

Memahami imunosupresi

Sistem kekebalan berfungsi untuk mengenali, menetralisasi, dan mengeliminasi patogen dalam tubuh, selain itu juga berperan untuk mengenali kembali patogen yang masuk dengan adanya sel memori, serta untuk mencegah terjadinya imunopatologi (kerusakan sel-sel kekebalan). Jika fungsi kekebalan ini terganggu maka akan terjadi suatu kondisi yang disebut imunosupresi. Demikian diungkapkan oleh Dr. Zavala saat mengawali presentasinya yang mengangkat tema “Immunosuppressive Diseases in Breeders, Clinical Aspects and Preventive Measures”.

Terdapat banyak faktor yang bisa menimbulkan kondisi imunosupresi, salah satunya adalah agen penyakit yang memiliki predileksi pada organ-organ pembentuk kekebalan seperti limpa, bursa fabricius (BF), seka tonsil, timus, dan kelenjar harderian. Organ-organ ini merupakan penghasil sel B dan sel T yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh.

Penyakit-penyakit imunosupresi

Penyakit imunosupresi yang umum ditemui pada ayam antara lain adalah Marek (MD), Chicken Anemia Virus Infection (CAV), Infectious Bursal Diseases (IBD), dll.

Penyakit Marek disebabkan oleh Herpesvirus yang menyerang sel B pada bursa fabricius dan menyebabkan sel B kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan antibodi. Virus ini juga menginfeksi sel T, menyebabkan terhambatnya produksi sel T-helper dan sel T-sitotoksik dengan proses replikasi yang lambat (laten) dan secara perlahan akan merubah sel T menjadi sel tumor. Secara bersamaan, juga menginvasi saraf perifer sehingga menyebabkan terjadinya paralisis. Terganggunya fungsi sel B dan sel T inilah yang memunculkan kondisi imunosupresi.

Hal yang sama terjadi dengan virus IBD, di mana virus ini menginfeksi immature sel B terutama pada bursa fabricius dan organ-organ penghasil sel B lainnya seperti limpa, kelenjar harderian, gut associated limfoid tissue, dan respiratory associated limfoid tissue. Immature sel B banyak terdapat pada ayam muda yang bursanya baru berkembang sehingga menyebabkan ayam muda lebih rentan terinfeksi. Infeksi ini menyebabkan kerusakan dini pada bursa sehingga tidak mampu memberikan respon antibodi terhadap agen penyakit maupun vaksin.

 “Hal inilah yang harus dicegah dengan adanya titer kekebalan asal induk (MAb) ungkap Dr. Zavala. Vaksin yang bisa digunakan salah satunya adalah vaksin imunkompleks yang mekanisme kerjanya mempresentasikan virus ke bursa yang disesuaikan dengan kekebalan asal induk setiap individu ayam.

Penyakit lain yang juga menyebabkan kondisi imunosupresi adalah CAV. Target sel CAV adalah prekursor sel T dan hemocytoblast yang berfungsi menghasilkan sel-sel darah seperti eritrosit, heterofil, dan trombosit. Sehingga, jika kedua sel ini terganggu, kemampuannya untuk memproduksi sel-sel darah tersebut akan hilang dan akan muncul gejala antara lain depresi karena anemia, nekrosis pada sayap, hemoragi, dan kepucatan pada sum-sum tulang. Di lapangan gejala klinis biasanya tidak selalu terlihat, yang terjadi hanyalah kondisi imunosupresi sehingga yang muncul adalah gejala-gejala dari infeksi sekunder.

“Yang harus selalu diingat bahwa jika ayam yang tidak divaksinasi terinfeksi secara alami di lapangan, maka virus akan bertahan di gonad untuk waktu yang lama (lebih dari 40 minggu), sehingga jika level antibodi menurun pada poin tertentu ayam akan kembali menghasilkan shedding virus yang akan kembali menularkan virus ke generasi selanjutnya,” jelas Dr. Zavala.

Jadi, lanjutnya, vaksinasi CAV yang dilakukan di breeder harus mampu meningkatkan level antibodi setinggi mungkin dan seragam untuk  mencegah terjadinya transmisi vertikal ke DOC, juga meningkatkan level MAb di DOCnya sehingga jika terjadi challenge di umur awal, MAb mampu menetralisasinya.

Konsekuensi yang mungkin terjadi akibat kondisi imunosupresi antara lain meningkatnya kerentanan terhadap penyakit-penyakit seperti koksidiosis, histomoniasis, fowl pox, nekrotik enteritis, penyakit pernapasan, serta penyakit bakterial. Selain itu ayam juga akan sangat rentan terhadap kasus Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang dapat menimbulkan kematian yang tinggi pada ayam broiler.

CIRCOMUNE® dan Cevac MD HVT + Rispens®

Menurut Dr. Roberto, untuk mengontrol kejadian imunosupresi di lapangan yang harus diperhatikan antara lain manajemen pemeliharaan (good husbandry practices), kontrol mikotoksin, vaksinasi Marek  dengan vaksin multivalen termasuk dengan penambahan Rispens, vaksinasi CAV pada breeder baik broiler maupun layer, dan vaksinasi IBD dengan vaksin imunkompleks, vaksin konvensional ataupun rekombinan, dan terakhir adalah melakukan monitoring program vaksinasi.

Terdapat banyak penyakit viral yang bersifat imunosumpresi seperti yang telah dipaparkan oleh Dr. Zavala. Namun, Dr. Roberto memfokuskan presentasinya pada CAV dan Marek.

Jika berbicara mengenai CAV maka harus selalu diingat bahwa penyakit ini ditransmisikan secara horizontal dan vertikal, sehingga vaksinasi yang dilakukan pada induk sangat diperlukan untuk memberikan kekebalan yang tinggi dan seragam pada DOC yang dihasilkan baik untuk broiler maupun layer. “Banyak produsen yang belum melakukan vaksinasi pada layer breeder, namun menurut pantauan tim Ceva, saat ini indikasi kasus CAV pada layer komersial sudah mulai meningkat sehingga sangat disarankan untuk melakukan vaksinasi,” terang Dr. Roberto.

Keuntungan melakukan vaksinasi CAV antara lain memungkinkan untuk mengontrol antibodi yang terbentuk, keseragaman antibodi yang dihasilkan sangat baik sehingga MAb yang diturunkan juga lebih baik, dan tentu saja dapat mencegah terjadinya transmisi vertikal karena induknya sudah divaksinasi di breeding farm.

Produk Circomune® dari Ceva merupakan produk vaksin untuk CAV yang sangat direkomendasikan karena mengandung strain Del-Ros yang secara alamiah bersifat non-patogenik sehingga sama sekali tidak bersifat virulen. Strain ini juga sangat invasif sehingga bisa bereplikasi pada tubuh ayam dengan sangat baik, aman karena kemampuan replikasinya pada embrio sangat lemah, demikian juga dengan kemampuan transmisinya secara horizontal. Oleh karena itu, aplikasi vaksin ini dilakukan dengan wing web atau vaksinasi individual. Vaksinasi bisa dilakukan dengan peralatan konvensional atau dengan alat terobosan baru dari Ceva yaitu Wingvac®. Namun, pada dasarnya alat ini ditujukan bukan demi kecepatan namun untuk memastikan kualitas aplikasi vaksin dilakukan dengan sempurna.

Vaksinasi dengan  Circomune® disarankan dilakukan antara umur 9 – 12 minggu (periode pullet) dan biasanya digabungkan dengan vaksin Pox, sehingga tidak perlu menambah jadwal vaksinasi lagi. Respon vaksinasi bisa dilihat dari take vaksin Pox atau secara serologis dengan ELISA 4 – 6-minggu setelah vaksinasi. Dari hasil pemeriksaan ini, jika ditemukan hasil titer positif kurang dari 80% maka sangat disarankan untuk melakukan vaksinasi ulang.

“Namun, hal ini sangat jarang terjadi, terutama jika aplikasi vaksin di lapangan dilakukan dengan baik sesuai dengan prosedur,” ungkap Dr. Roberto.

Mengenai penyakit Marek, Dr. Roberto mengungkapkan bahwa sejak munculnya virus Marek yang bersifat very virulen plus (vv+) maka penggunaan vaksin dengan strain HVT sudah tidak protektif lagi, sehingga sudah banyak yang beralih menggunakan strain Rispens (CVI988) yang saat ini dianggap sebagai strain yang paling potensial untuk mengontrol penyakit Marek baik di layer maupun broiler breeder. Setiap vaksin Rispen yang beredar dipasaran itu berbeda, hal inidibedakan dari tingkat passage dan tentu saja akan berbeda di efektifitasnya.

Di Indonesia sendiri, Ceva memiliki dua produk vaksin Marek yang telah teregister yaitu vaksin Marek Rispen-single dan HVT+Rispens dimana vaksin Rispen Ceva termasuk pada golongan low passage. Berdasarkan salah satu trial yang dilakukan Ceva diketahui bahwa tingkat proteksi vaksin Rispens terhadap virus Marek very virulen (vvMD) yang diadministrasikan secara in-ovo mapun sub-cutan mencapai 98%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin HVT tunggal yang proteksinya hanya 68% pada saat tantangan dilakukan di umur 5 hari pasca vaksinasi. Selain itu, dari beberapa trial di Indonesia juga diketahui bahwa 14 hari setelah vaksinasi terlihat vaksin Rispens Ceva sudah bereplikasi 100% di target organnya dibandingkan dengan vaksin Rispens lain (high passage) yang baru 40%, sehingga dapat disimpulkan bahwa vaksin Ceva mampu bereplikasi lebih cepat untuk menggertak kekebalan.

Dr. Roberto juga mengingkatkan bahwa vaksin Marek merupakan vaksin yang sangat sensitif sehingga harus dipastikan handling vaksin di hatchery dilakukan dengan benar baik preparasi maupun aplikasinya. Oleh karena itu Ceva memiliki program yang disebut CHICK Program yang merupakan program quality control pada hatchery untuk memastikan bahwa preparasi dan aplikasi vaksin dilakukan dengan benar, juga sebagai layanan kepada pelanggan untuk membantu memonitoring dan mengevaluasi hasil vaksinasi di setiap hatchery. 

Kembali ke atas